Azkahafizah’s Blog

May 30, 2009

PRINSIP KERJASAMA CS PRINSIP KESOPANAN (SEBUAH ANALISIS PRAMATIK TERHADAP TUTURAN MASYARAKAT SUNDA)

Filed under: 1 — Tags: — azkahafizah @ 5:11 am

1. Pengantar
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan dalam Putu,1996).
Nampaknya pernyataan Allan tersebut perlu dibuktikan dalam sebuah analisis terhadap tuturan antara penutur dan mitra tutur yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini ilmu pragmatik sudah tidak asing lagi di telinga. Ilmu ini muncul untuk menangani ilmu-ilmu kebahasaan lainnya yang mulai “angkat tangan” terhadap tuturan yang secara struktur melanggar kaidah atau tidak sesuai dengan prinsip.
Pernyataan Allan yang berbunyi “Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu…”, menggambarkan bahwa penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan sering terjadi. Penyimpangan dalam tuturan memang sering terjadi, baik itu secara struktur kalimat atau pun terhadap prinsip. Penyimpangan terhadap struktur kalimat sudah tentu dapat diatasi oleh ilmu sintaksis dan “kawan-kawan”, namun beda lagi dengan pelanggaran terhadap prinsip. Pelanggaran terhadap prinsip ini hubungannya dengan makna secara eksternal dan situasi tuturan, sehingga ilmu yang cocok untuk menangani masalah ini adalah ilmu pragmatik.
Seperti halnya tuturan yang akan dibahas dalam laporan hasil penelitian ini. Terdapat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yaitu terhadap maksim relevansi dan maksim kuantitas. Akan tetapi pelanggaran tersebut dianggap “wajar” oleh “kacamata” prinsip kesopanan. Lebih jelasnya, akan dibahas berikutnya dalam “Prinsip Kerjasama cs Prinsip Kesopanan”.

2. Sumber Data
1) Narasumber
Dalam penelitian ini terdapat tiga narasumber, yang pertama adalah Ibu …, latar belakang pendidikan …. dan Bapak …, dengan latar belakang pendidikan ….. Beliau semua termasuk golongan masyarakat menengah ke bawah dan penduduk asli Sunda.

2) Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan di daerah Subang, tepatnya di Desa Pagaden. Pengambilan data ini tidak melalui rekaman dengan wawancara langsung, melainkan dengan pengamatan oleh peneliti di lapangan dan berinteraksi langsung secara alami dengan masyarakat di sana. Penelitian dilakukan pada tanggal 2 sampai 3 Mei 2009.

3) Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode kuantitatif sehingga data yang diperoleh merupakan tuturan alami narasumber. Dengan metode kuantitatif ini data tidak diperoleh dari hasil wawancara secara terstruktur, melainkan hasil pengamatan peneliti yang terjun langsung ke lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat secara alami. Percakapan yang berlangsung alami direkam dengan tanpa diketahui oleh narasumber. Kemudian data yang telah diperoleh dikaji dengan “Prinsip Kerjasama” dan “Prinsip Kesopanan”.

4) Tujuan Penelitian
Tujuan dari adanya penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mengetahui pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pragmatik, khususnya prinsip kerjasama demi mengejar prinsip sopan santun berbahasa dalam percakapan orang Sunda, serta (2) mengetahui bagaimana pengaruh situasi dan latar belakang sosial terhadap makna suatu tuturan.

3. Landasan Teori
1) Pengertian Pragmatik
Dalam tulisan Putu Wijana diungkapkan bahwa ilmu pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual secara eksternal.
Yule (1996: 3 (dalam Subuki, [online])), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2 (Dalam Subuki, [online])) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Subuki, 2007 [online])) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi
Ada beberapa topik pembahasan dalam ilmu pragmatik yaitu teori tindak-tutur, prinsip kerja sama (Cooperative Principle), implikatur (Implicature), teori relevansi, dan kesantunan (Politeness).

2) Prinsip Kerjasama
Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. (Dewa Putu Wijana, 1996)
Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar pproses komunikasi itu berjalan lancar.
Dalam Dewa Putu Wijana (1996) dikemukakan pendapat Grice dan Austin bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).
a. Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
b. Maksim Kualitas
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi pesertapercakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila patuh pada prinsip ini, jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa itu kurang benar atau tidak benar.
c. Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.
d. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.

3) Prinsip Kesopanan
Prinsip kesopanan memiliki beberapa maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur. (Dewa Putu Wijana, 1996)
Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.
a. Maksim kebijaksanaan
Maksim ini diutarakan dalam tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam hal ini Leech (dalam Wijana, 1996)mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
b. Maksim kemurahan
Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
c. Maksim penerimaan
Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
d. Maksim kerendahan hati
Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
e. Maksim kecocokan
Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
f. Maksim kesimpatian
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

4) Antara Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesopanan
Dalam Leech (1993) dijelaskan bahwa Prinsip Kerjasama dibutuhkan untuk mempermudah menjelaskan hubungan antara makna dan daya; penjelasan yang demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan berdasarkan kebenaran (truth-based approach). Tetapi prinsip kerjasama itu sendiri tidak dapat menjelaskan, mengapa manusia sering menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyampaikan apa yang mereka maksud; dan apa hubungan antara makna dan daya dalam jenis-jenis kalimat yang bukan kalimat pernyataan/deklaratif (non-declarative). Maka, di sinilah peranan kesopanan menjadi penting.
Ada sebagian masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain. Dalam hal ini harus diakui bahwa kedudukan prinsip kerjasama lemah sekali bila kasus-kasus perkecualian tidak dijelaskan dengan memuaskan. Untuk dapat memberikan penjelasan yang memuaskan kita membutuhkan prinsip kesopanan. Karena itu, prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan komplemen yang perlu.
Fungsi sosial umum yang dijalankan oleh prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan tidak boleh luput dari perhatian, dan hubungan ‘tawar-menawar’ yang ada antara kedua prinsip tersebut. Prinsip kerjasama memungkinkan seorang peserta percakapan untuk berkomunikasi dengan asumsi bahwa peserta yang lain bersedia bekerja sama. Dalam hal ini prinsip kerjasama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta percakapan sehingga tuturan dapat menyumbang kepada tujuan ilokusi atau tujuan wacana. Namun dapat dikatakan bahwa dalam hal atur-mengatur tuturan peserta, prinsip kesopanan berperan menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena hanya dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang lain akan bekerja sama. Dalam situasi tertentu, prinsip kesopanan menduduki tempat kedua. Hal ini terjadi pada suatu kegiatan kerja sama berupa pertukaran informasi-informasi yang sangat dibutuhkan oleh kedua belah pihak.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan selalu tidak sejalan. Hal tersebut sesuai dengan keterangan Grice dalam Leech yang menyatakan bahwa kalau kita ingin sopan kita sering dihadapkan pada benturan antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan sehingga kita harus memutuskan sejauh mana kita akan tawar-menawar antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Perhatikanlah cuplikan dialog pendek berikut ini:
a. [Di dalam rumah, lingkungan keluarga Sunda. Antara Tuan rumah dan Tamu; Mei 2009]
A : “Nẻng, sok di leueut!”
(“Neng silahkan dimakan!”)
B : “Wios Ibu tong ngarẻpotkeun.”
(“Tidak apa-apa bu jangan merepotkan.”)
A : “Teu aya nanaon geuning da, cai wungkul!” (padahal yang disuguhkan ada makanan juga)
(Tidak ada apa-apa disini, hanya ada air!)
Dilihat secara sepintas, dialog tersebut terkesan sangat sopan. Namun, apabila seseorang yang membaca dialog tersebut tidak mengetahui situasinya seperti apa, maka orang tersebut akan merasa janggal dengan struktur dialognya. Kejanggalan terjadi akibat dari percakapan yang kurang relevan antara tuturan A dengan tuturan B. Ketidakrelevanan ini terjadi akibat pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yaitu maksim relevansi.
Namun, pelanggaran terhadap prinsip kerjasama tersebut tidak menjadi kesalahan fatal karena pelanggaran tersebut terjadi akibat tuntutan untuk memenuhi prinsip kesopanan. Dalam setiap tuturan, prinsip kesopanan merupakan suatu aspek yang perlu, apalagi dialog tersebut terjadi dalam linkungan budaya Sunda yang terkenal dengan perilaku sopan santunnya. Mari kita lihat tuturan B dalam dialog di atas apabila patuh terhadap maksim relevansi:
A : “Nẻng, sok di leueut!”
(“Neng silahkan dimakan!”)
B : “Oh, muhun. Dituang nya bu!”
(“Oh, iya. Saya makan ya bu.”)
Menurut pendapat saya (berdasarkan pada kebudayaan Sunda) dialog tersebut terlalu “langsung tembak” (meminjam istilah Leech) sehingga terkesan kurang sopan apalagi situasinya terjadi dalam percakapan antara seorang tamu dengan tuan rumah yang keduanya belum mengenal satu sama lain. Dalam situasi akrab atau mungkin dalam konteks kebudayaan luar Sunda, dialog yang “langsung tembak” tersebut sah-sah saja. Namun, lain halnya dengan orang Sunda yang senang berbasa-basi, dialog tersebut akan dinilai kurang sopan karena terjadi dalam situasi yang kurang akrab.
Pada bagian dialog terakhir A mengemukakan tuturan dengan maksim kerendahan hati yaitu:
A : “Teu aya nanaon geuning da, cai wungkul!” (padahal yang disuguhkan ada makanan juga)
(Tidak ada apa-apa disini, hanya ada air!)
Tuturan yang diungkapkan A di atas terlihat memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa suguhan yang diberikan hanya air walaupun kenyataannya tidak begitu.

b. [Di halaman rumah, antara peneliti (tamu) dan penduduk Desa Pagaden (tuan rumah); Mei 2009]
X : “Pak, di dieu seueur teu pamudana? Asa sepi.”
(“Pak, disini pemudanya banyak? Kok sepi?”)
Y : “Loba, sok di ditu tuh, ngarumpul di Karang Taruna.”
(“Banyak, suka berkumpul di Karang Taruna.”)
X : “Seueurna nu kuliah atanapi damel?”
(“Banyaknya yang kuliah atau bekerja?”)
Y : “Nu kuliah aya, nu damel aya. Putra bapak ogẻ aya nu kuliah di UPI.”
(“Yang kuliah ada yang bekerja ada. Anak Bapak juga ada yang sedang kuliah di UPI.”)
X : “Oh, geuning! Jurusan naon? Sa-angkatan sareng abdi teu?”
(“Oh, ternyata! Jurusan apa? Seangkatan dengan saya tidak?”)
Y : “Tingkat dua ayeuna mah, kitu. Ah, neng bapa mah maksakeun nyakolakeun tẻh, sugan kabiayaan. Ning ieuh panghasilan bapa tina ngamantrian cai, ngan sakieu” (sambil mengeluarkan lembaran kertas berisi rincian gaji).
(“Kalau tidak salah tingkat dua sekarang. Ah, neng bapak memaksakan menyekolahkan anak, mudah-mudahan terbiayai. Coba lihat penghasilan bapak, hanya ini.”)
X : “Alhamdulillah, atuh pa. rejeki mah aya nu ngatur nya pa?”
(“Alhamdulillah, Pak. Rejeki sudah ada yang mengatur, ya Pak!”)
Y : “Enya nyaẻta. Bapa mah teu ngarasula boga budak loba ogẻ. Mudah-mudahan wẻ jalujur.”
(Iya. Bapak tidak pernah mengeluh walaupun banyak anak. Mudah-mudahan mereka sukses.)
Dialog di atas terlihat didominasi oleh tuturan pihak Y. Setiap satu pertanyaan yang disampaikan X dijawab oleh Y dengan lebih dari satu informasi. Dalam “kacamata” prinsip kerjasama, dialog tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Namun, coba kita telusuri lebih jauh penyebab pelanggaran tersebut dari “kacamata” prinsip kesopanan.
Umumnya, panjang pendek suatu tuturan dapat menentukan tingkat kesopanan tuturan tersebut. Hal itu sesuai dengan pernyataan Putu Wijana (1996) bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Seperti yang terjadi pada dialog di atas, situasi dialog tersebut temasuk ke dalam situasi percakapan tidak akrab. Hal tersebut wajar saja, karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal sebelumnya, apalagi pihak Y statusnya sebagai tuan rumah dan ditinjau dari umur, beliau lebih tua daripada X (sebagai tamu). Namun, antara X dan Y dalam tuturan selanjutnya terkesan lebih akrab dan lebih terbuka. Apakah kira-kira faktor penyebab perubahan situasi percakapan tersebut?
Ternyata, disinilah peran prinsip kesopanan dibutuhkan untuk membuat situasi yang asalnya kaku menjadi lebih akrab. Sikap Y yang selalu memaksimalkan ketidakhormatan pada dirinya sendiri dan memaksimalkan kehormatan bagi orang lain (maksim kerendahan hati, menurut Putu) membuat X tidak merasa canggung untuk melanjutkan percakapan. Lain halnya apabila Y menjawab sesuai dengan maksim kuantitas (jawaban seperlunya), kesan yang ditimbulkan kurang sopan dan situasi pun akan menjadi canggung.

5. Kesimpulan
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang terhitung baru dibandingkan dengan ilmu bahasa lainnya seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Namun, pragmatik langsung menempati posisi yang tidak kalah penting dalam kajian ilmu bahasa. Hal tersebut disebabkan oleh jangkauan ilmu pragmatik yang tidak hanya mencakup maksud suatu tuturan, tetapi juga situasi tuturan sehingga dapat menjelaskan maksud yang tidak dapat dijelaskan oleh cabang ilmu bahasa lainnya. Ada beberapa topik pembahasan dalam ilmu pragmatik yaitu teori tindak-tutur, prinsip kerja sama (Cooperative Principle), implikatur (Implicature), teori relevansi, dan kesantunan (Politeness).
Dari paparan pembahasan terhadap hasil penelitian di atas ternyata pernyataan Leech (1993) yang menyatakan bahwa “Ada sebagian masyarakat yang dalam situasi-situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesopanan daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesopanan yang satu daripada yang lain”, memang dapat dibuktikan kebenarannya. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh situasi dimana tuturan itu berlangsung. Dalam pembahasan di atas, situasi tuturan berlangsung dalam lingkungan masyarakat Sunda yang terkenal dengan kesopansantunannya. Kemudian, situasi kedua yang menyebabkan terbenturnya prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan adalah karena situasi keformalan. Tuturan tersebut termasuk tuturan yang “mendekati” formal karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal (penutur adalah seorang tamu sedangkan mitra tutur adalah tuan rumah).
Dalam hal ini harus diakui bahwa kedudukan prinsip kerjasama lemah sekali bila kasus-kasus perkecualian tidak dijelaskan dengan memuaskan. Untuk dapat memberikan penjelasan yang memuaskan kita membutuhkan prinsip kesopanan. Karena itu, prinsip kesopanan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada prinsip kerjasama, tetapi prinsip kesopanan merupakan komplemen yang perlu. Jadi, dalam masalah ini prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan dapat saling melengkapi kekurangan satu sama lain dalam memperjelas maksud suatu tuturan walaupun kadang terjadi benturan antara prinsip kerjasama dengan prinsip kesopanan.

6. Referensi
– Aziz, E. Aminudin. 2008. Horizon Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Penerbit: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
– Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (terjemahan). Penerbit: Universitas Indonesia (UI-Press).
– Subuki, Makyun. 2007. Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari Dalam Program Studi Linguistik?. [online]. Tersedia di: http://www.tulisanmakyun.wordpress.com.
– Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI.
– Kbbi sunda………

Create a free website or blog at WordPress.com.